BAPAK Setiap pagi sebelum matahari meninggi dan setiap sore menjelang matahari tenggelam, Bapak memiliki kebiasaan duduk di bawah pohon jambu di pekarangan rumah kami. Pohon jambu itu daun-daunnya rimbun. Dan duduk di sana, di bawah naungan gerombolan daun yang berpadu dengan semilir angin, akan mendapatkan sensasi kesejukan yang melenakan. Di rumah ini hanya ada kami, aku dan Bapak. Ibu telah dipanggil Tuhan enam tahun yang lalu, sementara Mbak Ayu sudah sejak dua tahun lalu meninggalkan rumah ini, sejak dia telah sah menjadi isteri seorang ustad. Mbak Ayu pamit untuk membina kehidupan dan berjuang, demikian kata kakak perempuanku saat dia berpamitan pada kami. Ya, berangkatlah, kata Bapak waktu itu. Setiap manusia memiliki pilihan, terutama yang menyangkut jalan kehidupan. Dulu, saat Ibu masih hidup, Bapak sering duduk di bawah pohon jambu itu bersama Ibu. Mereka berbicara dengan lembut, saling membelai dengan sayang serta tersenyum penuh pengertian; kebahagiaan dua manusia yang telah menjalin kebersamaan cukup lama. Sebuah persahabatan abadi, yang kian kuat oleh tempaan peristiwa demi peristiwa kehidupan. Kini Ibu telah tiada, dan Bapak menghabiskan waktunya di bawah pohon jambu seorang diri. Apakah Bapak merasa kesepian? Hari ini, Bapak melanjutkan kebiasaannya itu, setelah sebelumnya memaksakan diri memangkas rumput pekarangan yang semakin lama semakin gesit pertumbuhannya. “Biarlah saya saja yang memangkas rumput-rumput itu,Pak.”kataku mencoba mencegah Bapak. “Kamu pasti mengira Bapak sudah lemah. Sudahlah. Biarkan Bapak bekerja. Kamu yang masih muda belajar sajalah, mumpung otakmu masih segar dan kuat.” Ah, Bapak masih saja berbicara seolah aku adalah mahasiswa yang tugas utamaku adalah belajar dan kehidupanku tergantung kepada kiriman uang dari Bapak setiap tanggal muda. Aku sudah bukan mahasiswa lagi, Pak. Aku sudah lulus. Hanya saja aku tidak bisa menyalahkan Bapak karena aku memang masih menganggur. Roda nasib belum juga mau mengangkatku ke atas, mengubah statusku dari pengangguran menuju tenaga kerja produktif, syukur-syukur, eksekutif. Mungkin karena melihat diriku yang menganggur, rambutku yang mulai memanjang, maka Bapak masih menganggapku mahasiswa, dan bukan lelaki yang layak untuk bekerja. Dan sekarang, disinilah aku, dalam kebosanan yang merapuhkan kemanusiaan, duduk melihat Bapak yang melamun di bawah pohon jambu yang sejuk. Apakah yang sedang engkau pikirkan, Pak? Apakah Bapak sedang memutar kembali peristiwa-peristiwa yang telah diabadikan sebagai kenangan dalam ingatan? Atau Bapak sedang mencari sesuatu, yang dampak dari pencarian itu adalah sebuah karya? Orang menyebutnya ilham. Dan sering kulihat Bapak menulis. Apakah Bapak sedang mengoreksi diri-sendiri, menghitung-hitung semua dosa yang mampu diingatnya, lalu pada saat sholat, tubuhnya akan tersungkur dan mulutnya mengucapkan permintaan ampun berkali-kali kepada Tuhan? Jika Bapak melakukan itu, kuucapkan alhamdulillah. Betapa banyak orang-orang tua kini yang tidak lagi mengenal tata cara berdoa dan tidak memiliki sense of dosa. Tapi, siapakah yang bisa mengerti pikiran manusia? Siapakah yang bisa menebak dengan pasti apa yang ada dalam pikiran seseorang, segalanya, hingga ke angan-angan seksnya? Pikiran adalah rahasia, yang terbuka jika sang pemegang kunci bersedia membuka kotak pikirannya untuk dibagi kepada orang lain. Mungkin ada benarnya juga pepatah Melayu yang mengatakan ‘dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati/pikiran siapa yang tahu?’. Kadang-kadang pepatah klasik yang singkat lebih mengena dari sejuta penjelasan psikologi. “Bapak menyukai gunung,”kata bapak suatu saat,”kau tahu kenapa Nang?” Bapak selalu memanggilku “lanang”, panggilan dalam adat Jawa yang kurang lebih berarti anak laki-laki. Aku menggeleng. “Karena gunung memiliki nilai filosofis. Gunung adalah pilar kokoh, tempat alam berpegangan agar seimbang dan tidak goyang. Gunung ibarat manusia bijak, tinggi menjulang wawasannya, menatap kehidupan di bawahnya tanpa larut dalam kebisingannya.” Bapak berasal dari sebuah desa di lereng gunung. Kembali ke kampung halamannya di gunung adalah impiannya. Tapi, karena ayah tidak memiliki apa-apa lagi di desanya, maka kami tidak pernah kembali ke gunung, dan malah terdampar di rumah kontrakan ini, dengan pohon jambu tempat Bapak melamun. Tanah warisan mendiang Eyang Kakung untuk Bapak sudah Bapak serahkan kepada Pak Lek dua tiga tahun lalu setelah Pak Lek datang ke rumah dan mengaku usahanya gagal total. Tanah itu kini telah berpindah pemilik, sementara Pak Lek belum juga mampu melepaskan diri dari meja judi. Bapak tidak punya harta lagi. Beruntung Bapak punya tunjangan pensiun, yang hanya cukup untuk mengontrak rumah. Dan yang jelas, tanah milik Bapak yang telah diserahkannya kepada Pak Lek tidak akan pernah kembali lagi. Dalam setiap kesempatan, jika dia ingin berbagi, maka Bapak akan memberiku banyak petuah. “Kejujuran adalah hal terpenting dalam hidup ini, Nang.”katanya. Sejak kapan kejujuran menjadi hal terpenting dalam hidup? Semasa aku SMU, Bapak yang semula bertugas di kota besar, tahu-tahu dipindahkan ke kota kecil yang sepi. Tiba-tiba saja, hidup kami yang semula terasa luas dan lapang berubah menjadi sempit dan menyesakkan. Kami terpaksa mengirit. Belakangan aku tahu Bapak telah dimutasi ke “bawah” karena berusaha mengadukan penggelapan yang dilakukan atasannya. Bapak semula memang menjabat Kepala Keuangan. Namun sebagaimana hukum alam bahwa yang kuat memakan yang lemah, Bapak akhirnya “dimakan” oleh si kuat dan terlempar ke kota ini. Siapa yang bilang Teori Darwin telah runtuh? Bapak sempat menyimpan harapan ketika mahasiswa menggulirkan demonstrasi untuk menjatuhkan status quo yang telah berkarat pada tahun 1998. Aku sudah mahasiswa, dan mendapat restu penuh dari Bapak untuk berdemo. Hanya Ibu yang sedikit khawatir. Dan Pak Lek yang selalu ngece,”Bapakmu menyuruh kamu ikut demo karena dia dendam tidak dapat jatah dari Orde Baru. Dia kalah saing. Makanya dendam. Salah dia sendiri. Coba dulu mau iku-ikutan gila, pasti tidak akan terlempar.” Aku hanya tertawa saja. Namun Bapak seperti orang yang dihempaskan kenyataan, setelah sempat menyimpan harapan tinggi terhadap apa yang akan terjadi, saat melihat perkembangan era yang disebut Reformasi. “Reformasi telah berubah jadi abu. Kita memang mengalami keterbukaan. Pornografi makin terbuka, dan sogok makin terbuka. Orang tidak perlu malu-malu lagi menyogok dan menyuap. Ini kan zaman keterbukaan? Kau tahu pemilihan Pemda? Om Sanusi secara terang-terangan bicara pada Bapak bahwa dia membayar 10 juta supaya anak keterima jadi PNS Pemda. Hebat ‘kan? Keterbukaan macam apa ini?” Ah, Bapak. Bapak yang malang. Bapak yang dikecewakan jaman. Sejak kapan kejujuran menjadi prioritas dalam kehidupan? Dalam hal ini Bapak sangat naïf. Sama naifnya ketika ia rela pulang jalan kaki karena dompetnya dicopet anak jalanan dan Bapak sama sekali tidak tega mengejar dan meneriaki anak itu “maling!”, agar massa bersedia membantunya menangkap dan menggebuki copet kurang ajar itu. “Dia hanya anak kecil, Nang. Anak kecil yang lapar. Atau malah anak kecil yang terancam……” Ah, Bapak. Kenapa mesti bermurah hati saat manusia telah berubah menjadi beringas? Lakon yang jujur dan lembut hanya ada dalam film, sinetron dan wayang. Bahkan, lakon era modern juga digambarkan keras, garang dan kasar. Kita harus keras, Pak. Kita harus garang. Kita harus kasar. Kita harus tega. Kalau tidak kita akan ditelan.Kejujuran dan keadilan hanya ada di awang-awang, seperti slogan parpol dalam setiap pemilu, yang langsung lenyap begitu pemilu usai, tanpa ada realisasinya saat sang parpol ketiban untung menjadi penguasa. Aku menatap Bapak yang melamun di bawah pohon jambu. Gurat-gurat keriput di wajahnya. Matanya yang cekung, kelopaknya yang mengatup. “Bapak ingin kembali ke gunung, Nang. Merasakan lagi kehidupan yang tenang dan sejuk. Udara yang segar. Air yang mengalir. Kapan ya Bapak bisa kembali ke sana?” Semarang, 1 Maret 2003